Senin, 23 November 2015

KRISIS EKONOMI DI INDONESIA TAHUN 1997-1998

Krisis pertama yang dialami Indonesia masa orde baru adalah kondisi ekonomi yang sangat parah warisan orde lama.Sebagian besar produksi terhenti dan laju pertumbuhan ekonomi selama periode 1962-1966 kurang dari 2% yang mengakibatkan penurunan pendapatan per kapita.Defisit anggaran belanja pemerintah yang sebagian besar dibiayai dengan kredit dari BI meningkat tajam dari 63%  dari penerimaan pemerintah tahun 1962 menjadi127% tahun 1966.Selain itu,buruknya perekonomian Indonesia masa transisi juga disebabkan oleh besarnya defisit neraca perdagangan dan utang luar negeri,yang kebanyakan diperoleh dari negara blok timur serta inflasi yang sangat tinggi.Disamping itu,pengawasan devisa yang amat ketat menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS naik dua atau tiga kali lipat.Akibatnya terjadi kegiatan spekulatif dan pelarian modal ke luar negeri.Hal ini memperburuk perekonomian Indonesia pada masa itu (Siregar,1987).

Krisis kedua adalah laju inflasi yang tinggi pada tahun 1970-an.Hal ini disebabkan karena banyaknya jumlah uang yang beredar dan krisis pangan akhir tahun 1972.Laju inflasi memuncak hingga 41% tahun 1974 (Hill,1974).Selain itu terjadi devaluasi rupiah sebesar 50% pada November 1978.

Bulan September 1984,Indonesia mengalami krisis perbankan ,yang bermula dari deregulasi perbankan 1 Juni 1983 yang memaksa bank-bank negara untuk memobilisasi dana mereka dan memikul risiko kredit macet,serta bebas untuk menentukan tingkat suku bunga,baik deposito berjangka maupun kredit (Nasution,1987).Masalah-masalah tersebut terus berlangsung hingga terjadi krisis ekonomi yang bermula pada tahun 1997 (Tambunan,1998).

Terakhir,antara tahun 1990-1995 ekonomi Indonesia beberapa kali mengalami gangguan dari waktu ke waktu.Pertama,walaupun tidak menimbulkan suatu krisis yang besar,apresiasi nilai tukar yen Jepang terhadap dollar AS sempat merepotkan Indonesia.Laju pertumbuhan ekspor Indonesia sempat terancam menurun dan beban ULN dari pemerintah Jepang meningkat dalam nilai dollar AS.Kedua,pada awal tahun 1994,perekonomian Indonesia cukup terganggu dengan adanya arus pembelian dollar AS yng bersifat spekulatif karena beredar isu akan adanya devaluasi rupiah (Tambunan,1998).


Sumber: Tambunan (1998)  pertukaran bath-dollar
Dari tahun 1985 ke tahun 1995, Ekonomi Thailand tumbuh rata-rata 9%. Pada 1996, dana hedge Amerika telah menjual $400 juta mata uang Thai.Dari 1985 sampai 2 Juli 1997, baht dipatok 25 bath per dollar AS.Pada tanggal 14 dan tanggal 15 Mei 1997, nilai tukar bath Thailand terhadap dolar AS mengalami goncangan akibat para investor asing mengambil keputusan “jual”, karena tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian dan ketidakstabilan politik Negara Thailand. Untuk mempertahankan nilai tukar bath agar tidak jatuh terus, Thailand melakukan intervensi yang didukung oleh Bank Sentral Singapura. Namun, pada tanggal 2 Juli 1997, Bank Sentral Thailand mengumumkan bahwa nilai tukar bath dibebaskan dari ikatan dollar AS dan meminta bantuan IMF. Pengumuman ini menyebabkan nilai bath terdepresiasi sekitar 15-20% hingga mencapai nilai terendah, yakni 28,20 bath per dollar AS. Pada 1997, sebenarnya kondisi ekonomi di Indonesia tampak jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, tingkat inflasi Indonesia lebih rendah. Nilai tukar rupiah terhadap dolar, menguat. Dalam kondisi ekonomi seperti itulah, banyak perusahaan di Indonesia meminjam uang dalam bentuk dolar AS.

Krisis moneter yang terjadi di Thailand ini, menyebabkan Indonesia dan beberapa negara Asia, seperti Filipina, Korea dan Malaysia mengalami krisis keuangan. Ketika krisis melanda Thailand, nilai baht terhadap dolar anjlok dan menyebabkan nilai dolar menguat. Penguatan nilai tukar dolar berimbas ke rupiah. Sekitar bulan Juli 1997, di Indonesia terjadi depresiasi nilai tukar rupiah, nilai rupiah terus merosot. Di bulan Agustus 1997 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah dari Rp2.500,00 menjadi Rp2.650,00 per dolar AS. Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia mulai tidak stabil. Padahal, pada saat itu hutang luar negeri Indonesia, baik swasta maupun pemerintah, sudah sangat besar. Tatanan perbankan nasional kacau dan cadangan devisa semakin menipis.Perusahaan yang tadinya banyak meminjam dolar (ketika nilai tukar rupiah kuat terhadap dolar), kini sibuk memburu atau membeli dolar untuk membayar bunga pinjaman mereka yang telah jatuh tempo, dan harus dibayar dengan dolar. Nilai rupiah pun semakin jatuh lebih dalam lagi. IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi tidak mampu memperbaiki keadaan. Malahan akhirnya paket bantuan IMF itu, yang dalam penggunaannya banyak terjadi penyelewengan, semakin menambah beban utang yang harus ditanggung oleh rakyat Indonesia.
KRISIS RUPIAH HINGGA KRISIS EKONOMI
Indonesia merupakan salah satu Negara di Asia yang mengalami krisis mata uang, kemudian disusul oleh krisis moneter dan berakhir dengan krisis ekonomi yang besar. Seperti diungkapkan oleh Haris (1998), 

“Krisis ekonomi yang dialami Indonesia sejak tahun 1997 adalah yang paling parah sepanjang orde baru. Ditandai dengan merosotnya kurs rupiah terhadap dolar yang luar biasa, serta menurunnya pendapatan per kapita bangsa kita yang sangat drastis. Lebih jauh lagi, sejumlah pabrik dan industri yang bakal collaps atau disita oleh kreditor menyusul utang sebagian pengusaha yang jatuh tempo pada tahun 1998 tak lama lagi akan menghasilka ribuan pengngguran baru dengan sederet persoalan sosial. Ekonom, dan politik yang baru pula” (hal.54)

            Menurut Fischer (1998), sesungguhnya pada masa kejayaan Negara-negara Asia Tenggara, krisis d beberapa negara, seperti Thailand, Korea Selatan, dan Indonesia, sudah bisa diramalkan meski waktunya tidak dapat dipastikan.Misalnya di Thailand dan Indonesia, defisit neraca perdagangan terlalu besar dan terus meningkat setiap tahun, sementara pasar properti dan pasar modal di dalam negeri berkembang pesat tanpa terkendali. Selain itu, nilai tukar mata uang di dua Negara tersebut dipatok terhadap dolar AS terlalu rendah yang mengakibatkan ada kecenderungan besar dari dunia usaha didalam negeri untuk melakukan pinjaman luar negeri, sehingga banyak perusahaan dan lembaga keuangan di negara-negara itu menjadi sangat rentan terhadap risiko perubahan nilai tukar valuta asing. Dan yang terakhir adalah aturan serta pengawasan keuangan oleh otoriter moneter di Thailand dan Indonesia yang sangat longgar hingga kualitas pinjaman portfolio perbankan sangat rendah.

            Anggapan Fischer tersebut dapat membantu untuk menentukan apakah krisis rupiah terjadi karena krisis bath Thailand.  Sementara menurut McLeod (1998), krisis rupiah di Indonesia adalah hasil dari akumulasi kesalahan-kesalahan pemerintah dalam kebijakan-kebijakan ekonominya selama orde baru, termasuk diantaranya kebijakan moneter yang mempertahankan nilai tukar rupiah pada tingkat yang overvalued.

            Krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak awal Juli 1997, di akhir tahun itu telah berubah menjadi krisis ekonomi. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, menyebabkan harga-harga naik drastis. Banyak perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. Jumlah pengangguran meningkat dan bahan-bahan sembako semakin langka.Krisis ini tetap terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia. Yang dimaksud fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, cadangan devisa masih cukup besar dan realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus.


1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
Pertumbuhan ekonomi (%)
7,24
6,95
6,46
6,50
7,54
8,22
7,98
4,65
Tingkat Inflasi (%)
9,93
9,93
5,04
10,18
9,66
8,96
6,63
11,60
Neraca pembayaran (US$)
2,099
1,207
1,743
741
806
1,516
4,451
-10,021
Neraca perdagangan
5,352
4,801
7,022
8,231
7,901
6,533
5,948
12,964
Neraca berjalan
-3,24
-4,392
-3,122
-2,298
-2,96
-6,76
-7,801
-2,103
Neraca modal
4,746
5,829
18,111
17.972
4,008
10,589
10,989
-4,845
Pemerintah (neto)
633
1,419
12,752
12,753
307
336
-522
4,102
Swasta (neto)
3,021
2,928
3,582
3,216
1,593
5,907
5,317
-10,78
PMA (neto)
1,092
1,482
1,777
2,003
2,108
4,346
6,194
1,833
Cadangan devisa akhir tahun (US$)
8,661
9,868
11.611
12,352
13,158
14,674
19,125
17,427
(bulan impor nonmigas c&f)
4,7
4,8
5,4
5,4
5,0
4,3
5,2
4,5
Debt-service ratio (%)
30,9
32,0
31,6
33,8
30,0
33,7
33,0

Nilai tukar Des. (Rp/US$)
1,901
1,992
2,062
2,11
2,2
2,308
2,383
4.65
APBN* (Rp.milyar)
3,203
433
-551
-1,852
1,495
2,807
818
456
*Tahun anggaran

Sumber : BPS,Indikator ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Keuangan Indonesia;

                World Bank, Indonesia in Crisis, July 2, 1998
            Menanggapi perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang mulai merosot sejak bulan Mei 1997, pada bulan Juli 1997 BI melakukan empat kali intervensi dengan memperlebar rentang intervensi. Namun pengaruhnya tidak banyak. Nilai rupiah dalam dolar AS terus tertekan. Tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai nilai terendah hingga saat itu, yakni dari Rp2.655,00 menjadi Rp2.682,00 per dollar AS. BI akhirnya menghapuskan rentang intervensi dan pada akhirnya rupiah turun ke Rp2.755,00 per dollar AS. Tetapi terkadang nilai rupiah juga mengalami penguatan beberapa poin. Misalnya, pada bulan Maret 1988 nilai rupiah mencapai Rp10.550,00 untuk satu dollar AS, walaupun sebelumnya, antara bulan Januari dan Februari sempat menembus Rp11.000,00 rupiah per dollar AS. Selama periode Agustus 1997-1998, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terendah terjadi pada bulan Juli 1998, yakni mencapai nilai antara Rp14.000,00 dan Rp15.000,00 per dollar AS. Sedangkan dari bulan September 1998 hingga Mei 1999, perkembangan kurs rupiah terhadap dolar AS berada pada nilai antara Rp8.000,00 dan Rp11.000,00 per dollar AS. Selama periode 1 Januari 1998 hingga 5 Agustus 1998, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan mata uang-mata uang Negara-negara Asia lainnya yang juga mengalami depresiasi terhadap dolar AS selama periode tersebut.
Perubahan Nilai Tukar Mata Uang Beberapa Negara Asia : 30/6/97-8/5/98
Negara
US$/100 Uang lokal 6/30’97
12/31’97
Perubahan (%)
6/30-12/31
5/8’98
Perubahan (%)
1/1-5/8’98
Perubahan Kumulatif (%)
6/30’97-5/8’98
Thailand
4,05
2,08
-48,7
2,59
24,7
-36
Malaysia
39,53
25,70
-35,0
26,25
2,1
-33,6
Indonesia
0,04
0,02
-44,0
0,01
-53,0
-73,8
Filipina
3,79
2,51
-33,9
2,54
1,3
-33,0
Hongkong
12,90
12,90
0,0
12,90
0,0
0,0
Korea Selatan
0,11
0,06
-47,7
0,07
21,9
-36,2
Taiwan
3,60
3,06
-14,8
3,10
1,2
-13,8
Singapura
69,93
59,44
-15,0
61,80
4,0
-11,6
Sumber :Goldstein (1998)
Sebagai konsekuensinya, BI pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing. Dengan demikian, BI tidak melakukan intervensi lagi di pasar valuta asing, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar.
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KRISIS
            Ada asap pasti ada api. Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa sesuatu yang terjadi, itu pasti ada penyebabnya. Begitu pula dengan adanya krisis yang terjadi, pasti ada faktor-faktor yang menyebabkan krisis itu terjadi. Analisis dari faktor-faktor ini diperlukan, karena untuk menangani krisis tersebut tergantung dari ketepatan diagnosa. Ada beberapa pendapat mengenai faktor-faktor tersebut, antara lain :
1.Ada sekelompok peneliti, yakni Tambunan (1998), Roubini (1998), Kaminsky dan Reinhart (1996), dan Krugman (1979), yang berpendapat bahwa penyebab utama suatu krisis ekonomi adalah karena rapuhnya fundamental ekonomi domestik dari Negara yang bersangkutan, seperti defisit transaksi berjalan yang besar dan terus menerus dan utang luar negeri jangka pendek yang sudah melewati batas normal.
2.Anwar Nasution (1998:28) melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar negeri ditambah lemahnya sistim perbankan nasional sebagai akar terjadinya krisis finansial.
3.Ada kelompok peneliti lain,yakni Eichengreen dan Wyplosz (1993), Martinez-Peria (1998), dan Obstfeld (1986),yang berpendapat bahwa krisis ekonomi terjadi karena hancurnya sistem penentuan kurs tetap di Negara-negara yang fundamental ekonomi atau pasarnya baik.
4.Bank Dunia melihat adanya empat sebab utama yang bersama-sama membuat krisis menuju kea rah kebangkrutan (World Bank,1998,pp. 1.7-1.11). Empat sebab itu antara lain, akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992-1997,kelemahan pada sistim perbankan, masalah governance,termasuk kemampuan pemerintah dalam menangani dan mengatasi krisis, dan yang terakhir adalah ketidakpastian politik dalam menghadapi Pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan Presiden Soeharto pada waktu itu.
5.Lepi T.Tarmidi berpendapat bahwa penyebab utama dari terjadinya krisis adalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang sangat tajam. Selain itu, ada beberapa faktor lainnya menurut kejadiannya, antara lain :
a.Dianutnya sistim devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai, yang memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas.
b.Tingkat depresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993) hingga 5,8% (1991) antara tahun 1998 hingga 1996, yang berada dibawah fakta nilai tukar, menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat overvalued.
c.Akar dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya, ditambah sistim perbankan nasional yang lemah.
d.Permainan yang dilakukan oleh spekulan asing yang dikenal hedge funds tidak mungkin dapat dibendung dengan melepas cadangan devisa yang dimiliki Indonesia pada saat itu, karena prakek margin trading, yang memungkinkan dengan modal relatif kecil bermain dalam jumlah besar.
e.Kebijakan fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistim nilai tukar dengan pita batas intervensi.
f.Defisit neraca berjalan yang semakin membesar (IMF Research Department Staff: 10; IDE), yang disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih besar dari ekspor dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman.
g.Penanaman modal asing portfolio yang pada awalnya membeli saham besar-besaran yang diiming-imingi keuntungan yang besar yang ditunjang oleh perkembangan moneter yang relatif stabil, kemudian mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar.
h.IMF tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda pengucuran bantuan yang dijanjikannya dengan alas an pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan dengan baik. Dan Negara-negara sahabat yang menjanjikan akan membantu, juga menunda bantuannya menunggu signal dari IMF.
i.Spekulan domestik juga meminjam dana dari sistim perbankan untuk bermain.
j.Terjadi krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbu membeli dollar AS, agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah bias menarik keuntungan dan merosotnya nilai tukar rupiah.
k.Terdapatnya keterkaitan erat dengan Yen Jepang, yang nilainya melemah terhadap dollar AS.
DAMPAK KRISIS TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA
            Sejak bulan Juli 1997, Indonesia mulai terkena imbas krisis moneter yang menimpa dunia khususnya Asia Tenggara. Struktur ekonomi nasional Indonesia saat itu masih lemah untuk mampu menghadapi krisis global tersebut. Dampak negatif yang ditimbulkan antara lain, kurs rupiah terhadap dollar AS melemah pada tanggal 1 Agustus 1997, pemerintah melikuidasi 16 bank bermasalah pada akhir tahun 1997, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mengawasi 40 bank bermasalah lainnya dan mengeluarkan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk membantu bank-bank bermasalah tersebut. Namun kenyataannya terjadi manipulasi besar-besaran terhadap dana KLBI yang murah tersebut. Dampak negatif lainnya adalah kepercayaan internasional terhadap Indonesia menurun, perusahaan milik Negara dan swasta banyak yang tidak dapat membayar utang luar negeri yang akan dan telah jatuh tempo, angka pemutusan hubungan kerja meningkat karena banyak perusahaan yang melakukan efisiensi atau menghentikan kegiatannya, kesulitan menutup APBN, biaya sekolah di luar negeri melonjak, laju inflasi yang tinggi, angka kemiskinan meningkat dan persediaan barang nasional, khususnya Sembilan bahan pokok di pasaran mulai menipis pada akhir tahun 1997. Akibatnya, harga-harga barang naik tidak terkendali dan berarti biaya hidup semakin tinggi.
            Selain memberi dampak negatif, krisis ekonomi juga membawa dampak positif. Secara umum impor barang, termasuk impor buah menurun tajam, perjalanan ke luar negeri dan pengiriman anak sekolah ke luar negeri,kebalikannya arus masuk turis asing akan lebih besar, meningkatkan ekspor khususnya di bidang pertanian, proteksi industri dalam negeri meningkat, dan adanya perbaikan dalam neraca berjalan. Krisis ekonomi juga menciptakan suatu peluang besar bagi Unit Kecil Menengah (UKM) dan Industri Skala Kecil (ISK), yakni pertumbuhan jumlah unit usaha,jumlah pekerja atau pengusaha, munculnya tawaran dari IMB untuk melakukan mitra usaha dengan ISK, peningkatan ekspor, dan peningkatan pendapatan untuk kelompok menengah ke bawah.Namun secara keseluruhan, dampak negatif dari jatuhnya nilai tukar rupiah masih lebih besar dari dampak positifnya.

KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN PERAN IMF DALAM MENGATASI KRISIS
            Pada awalnya pemerintah berusaha untuk menangani sendiri masalah krisis ini. Namun setelah menyadari bahwa merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tidak dapat dibendung sendiri,lebih lagi cadangan dollar AS di BI sudah mulai menipis karena terus digunakan untuk meningkatkan kembali nilai tukar rupiah, tanggal 8 Oktober1997 pemerintah resmi akan meminta bantuan kepada IMF. Strategi pemulihan IMF dalam garis besarnya ialah mengembalikan kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap kinerja ekonomi Indonesia. Inti dari setiap program pemulihan ekonomi adalah restrukturisasi sektor finansial (Fischer 1998b). Kemudian antara Indonesia dan IMF membuat nota kesepakatan, terdiri atas 50 butir kebijakan mencakup ekonomi makro (fiskal dan moneter), restrukturisasi sektor keuangan, dan reformasi struktural, yang ditandatangani bersama.
            Butir-butir dalam kebijakan fiskal meliputi, tetap menggunakan prinsip anggaran berimbang, usaha-usaha untuk mengurangi pengeluaran, seperti menghilangkan subsidi BBM dan listrik serta membatalkan sejumlah proyek infrastruktur besar, dan yang terakhir meningkatkan pendapatan pemerintah dengan penangguhan PPN dan fasilitas pajak serta bea cukai, mengenakan pajak tambahan terhadap bensin, memperbaiki audit PPN dan memperbanyak objek pajak.
            Namun kesepakatan itu gagal, karena syarat-syarat dari IMF dirasa berat oleh Indonesia. Maka dari itu dilakukanlah negosiasi dan dihasilkan kesepakatan yang ditandatangani 15 Januari 1998. Pokok-pokok dari program IMF itu antara lain, kebijakan makro ekonomi yang terdiri dari kebijakan fiskal dan kebijakan moneter serta nilai tukar, kemudian restrukturisasi sektor keuangan yang terdiri dari program restrukturisasi bank dan memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan, dan yang terakhir adalah reformasi structural yang terdiri dari perdagangan luar negeri dan investasi, deregulasi dan swastanisasi, social safety net dan lingkungan hidup.
            Pelaksanaan kesepakatan kedua ini kembali menghadapi bebagai hambatan, kemudian diadakan negosiasi ulang yang menghasilkan Supplementary Memorandum pada tanggal 10 April 1998 yang terdiri atas 20 butir, 7 appendix dan satu matriks. Strategi yang akan dilaksanakan adalah menstabilkan rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia, memperkuat dan mempercepat restrukturisasi sistim perbankan, memperkuat implementasi reformasi struktural untuk membangun ekonomi yang efisien dan berdaya saing, menyusun kerangka untuk mengatasi masalah utang perusahaan swasta, dan yang terakhir adalah mengembalikan pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga ekspor bangkit kembali.
Sedangkan ke tujuh appendix itu antara lain, kebijakan moneter dan suku bunga, pembangunan sektor perbankan, bantua anggaran pemerintah untuk golongan lemah, reformasi BUMN dan swastanisasi, reformasi structural, restrukturisasi utang swasta, dan hukum kebangkrutan dan reformasi yuridis.

0 komentar:

Posting Komentar