Krisis
pertama yang dialami Indonesia masa orde baru adalah kondisi ekonomi
yang sangat parah warisan orde lama.Sebagian besar produksi terhenti dan
laju pertumbuhan ekonomi selama periode 1962-1966 kurang dari 2% yang
mengakibatkan penurunan pendapatan per kapita.Defisit anggaran belanja
pemerintah yang sebagian besar dibiayai dengan kredit dari BI meningkat
tajam dari 63% dari penerimaan pemerintah tahun 1962 menjadi127% tahun
1966.Selain itu,buruknya perekonomian Indonesia masa transisi juga
disebabkan oleh besarnya defisit neraca perdagangan dan utang luar
negeri,yang kebanyakan diperoleh dari negara blok timur serta inflasi
yang sangat tinggi.Disamping itu,pengawasan devisa yang amat ketat
menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS naik dua atau tiga
kali lipat.Akibatnya terjadi kegiatan spekulatif dan pelarian modal ke
luar negeri.Hal ini memperburuk perekonomian Indonesia pada masa itu
(Siregar,1987).
Krisis
kedua adalah laju inflasi yang tinggi pada tahun 1970-an.Hal ini
disebabkan karena banyaknya jumlah uang yang beredar dan krisis pangan
akhir tahun 1972.Laju inflasi memuncak hingga 41% tahun 1974
(Hill,1974).Selain itu terjadi devaluasi rupiah sebesar 50% pada
November 1978.
Bulan
September 1984,Indonesia mengalami krisis perbankan ,yang bermula dari
deregulasi perbankan 1 Juni 1983 yang memaksa bank-bank negara untuk
memobilisasi dana mereka dan memikul risiko kredit macet,serta bebas
untuk menentukan tingkat suku bunga,baik deposito berjangka maupun
kredit (Nasution,1987).Masalah-masalah tersebut terus berlangsung hingga
terjadi krisis ekonomi yang bermula pada tahun 1997 (Tambunan,1998).
Terakhir,antara
tahun 1990-1995 ekonomi Indonesia beberapa kali mengalami gangguan dari
waktu ke waktu.Pertama,walaupun tidak menimbulkan suatu krisis yang
besar,apresiasi nilai tukar yen Jepang terhadap dollar AS sempat
merepotkan Indonesia.Laju pertumbuhan ekspor Indonesia sempat terancam
menurun dan beban ULN dari pemerintah Jepang meningkat dalam nilai
dollar AS.Kedua,pada awal tahun 1994,perekonomian Indonesia cukup
terganggu dengan adanya arus pembelian dollar AS yng bersifat spekulatif
karena beredar isu akan adanya devaluasi rupiah (Tambunan,1998).
Sumber: Tambunan (1998) pertukaran bath-dollar
Dari
tahun 1985 ke tahun 1995, Ekonomi Thailand tumbuh rata-rata 9%. Pada
1996, dana hedge Amerika telah menjual $400 juta mata uang Thai.Dari
1985 sampai 2 Juli 1997, baht dipatok 25 bath per dollar AS.Pada
tanggal 14 dan tanggal 15 Mei 1997, nilai tukar bath Thailand terhadap
dolar AS mengalami goncangan akibat para investor asing mengambil
keputusan “jual”, karena tidak percaya lagi terhadap prospek
perekonomian dan ketidakstabilan politik Negara Thailand. Untuk
mempertahankan nilai tukar bath agar tidak jatuh terus, Thailand
melakukan intervensi yang didukung oleh Bank Sentral Singapura. Namun,
pada tanggal 2 Juli 1997, Bank Sentral Thailand mengumumkan bahwa nilai
tukar bath dibebaskan dari ikatan dollar AS dan meminta bantuan IMF.
Pengumuman ini menyebabkan nilai bath terdepresiasi sekitar 15-20%
hingga mencapai nilai terendah, yakni 28,20 bath per dollar AS. Pada
1997, sebenarnya kondisi ekonomi di Indonesia tampak jauh dari krisis.
Tidak seperti Thailand, tingkat inflasi Indonesia lebih rendah. Nilai
tukar rupiah terhadap dolar, menguat. Dalam kondisi ekonomi seperti
itulah, banyak perusahaan di Indonesia meminjam uang dalam bentuk dolar
AS.
Krisis
moneter yang terjadi di Thailand ini, menyebabkan Indonesia dan
beberapa negara Asia, seperti Filipina, Korea dan Malaysia mengalami
krisis keuangan. Ketika krisis melanda Thailand, nilai baht terhadap
dolar anjlok dan menyebabkan nilai dolar menguat. Penguatan nilai tukar
dolar berimbas ke rupiah. Sekitar bulan Juli 1997, di Indonesia terjadi
depresiasi nilai tukar rupiah, nilai rupiah terus merosot. Di bulan
Agustus 1997 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah dari
Rp2.500,00 menjadi Rp2.650,00 per dolar AS. Sejak saat itu, posisi mata
uang Indonesia mulai tidak stabil. Padahal, pada saat itu hutang luar
negeri Indonesia, baik swasta maupun pemerintah, sudah sangat besar.
Tatanan perbankan nasional kacau dan cadangan devisa semakin
menipis.Perusahaan yang tadinya banyak meminjam dolar (ketika nilai
tukar rupiah kuat terhadap dolar), kini sibuk memburu atau membeli dolar
untuk membayar bunga pinjaman mereka yang telah jatuh tempo, dan harus
dibayar dengan dolar. Nilai rupiah pun semakin jatuh lebih dalam lagi.
IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi tidak mampu
memperbaiki keadaan. Malahan akhirnya paket bantuan IMF itu, yang dalam
penggunaannya banyak terjadi penyelewengan, semakin menambah beban utang
yang harus ditanggung oleh rakyat Indonesia.
KRISIS RUPIAH HINGGA KRISIS EKONOMI
Indonesia
merupakan salah satu Negara di Asia yang mengalami krisis mata uang,
kemudian disusul oleh krisis moneter dan berakhir dengan krisis ekonomi
yang besar. Seperti diungkapkan oleh Haris (1998),
“Krisis
ekonomi yang dialami Indonesia sejak tahun 1997 adalah yang paling
parah sepanjang orde baru. Ditandai dengan merosotnya kurs rupiah
terhadap dolar yang luar biasa, serta menurunnya pendapatan per kapita
bangsa kita yang sangat drastis. Lebih jauh lagi, sejumlah pabrik dan
industri yang bakal collaps atau disita oleh kreditor menyusul utang
sebagian pengusaha yang jatuh tempo pada tahun 1998 tak lama lagi akan
menghasilka ribuan pengngguran baru dengan sederet persoalan sosial.
Ekonom, dan politik yang baru pula” (hal.54)
Menurut Fischer (1998), sesungguhnya pada masa kejayaan Negara-negara
Asia Tenggara, krisis d beberapa negara, seperti Thailand, Korea
Selatan, dan Indonesia, sudah bisa diramalkan meski waktunya tidak dapat
dipastikan.Misalnya di Thailand dan Indonesia, defisit neraca
perdagangan terlalu besar dan terus meningkat setiap tahun, sementara
pasar properti dan pasar modal di dalam negeri berkembang pesat tanpa
terkendali. Selain itu, nilai tukar mata uang di dua Negara tersebut
dipatok terhadap dolar AS terlalu rendah yang mengakibatkan ada
kecenderungan besar dari dunia usaha didalam negeri untuk melakukan
pinjaman luar negeri, sehingga banyak perusahaan dan lembaga keuangan di
negara-negara itu menjadi sangat rentan terhadap risiko perubahan nilai
tukar valuta asing. Dan yang terakhir adalah aturan serta pengawasan
keuangan oleh otoriter moneter di Thailand dan Indonesia yang sangat
longgar hingga kualitas pinjaman portfolio perbankan sangat rendah.
Anggapan Fischer tersebut dapat membantu untuk menentukan apakah krisis
rupiah terjadi karena krisis bath Thailand. Sementara menurut McLeod
(1998), krisis rupiah di Indonesia adalah hasil dari akumulasi
kesalahan-kesalahan pemerintah dalam kebijakan-kebijakan ekonominya
selama orde baru, termasuk diantaranya kebijakan moneter yang
mempertahankan nilai tukar rupiah pada tingkat yang overvalued.
Krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak awal Juli 1997, di akhir
tahun itu telah berubah menjadi krisis ekonomi. Melemahnya nilai tukar
rupiah terhadap dolar AS, menyebabkan harga-harga naik drastis. Banyak
perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik yang melakukan pemutusan
hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. Jumlah pengangguran meningkat
dan bahan-bahan sembako semakin langka.Krisis ini tetap terjadi,
meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat
dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia. Yang dimaksud fundamental
ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju
inflasi terkendali, cadangan devisa masih cukup besar dan realisasi
anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus.
1990
|
1991
|
1992
|
1993
|
1994
|
1995
|
1996
|
1997
| |
Pertumbuhan ekonomi (%)
|
7,24
|
6,95
|
6,46
|
6,50
|
7,54
|
8,22
|
7,98
|
4,65
|
Tingkat Inflasi (%)
|
9,93
|
9,93
|
5,04
|
10,18
|
9,66
|
8,96
|
6,63
|
11,60
|
Neraca pembayaran (US$)
|
2,099
|
1,207
|
1,743
|
741
|
806
|
1,516
|
4,451
|
-10,021
|
Neraca perdagangan
|
5,352
|
4,801
|
7,022
|
8,231
|
7,901
|
6,533
|
5,948
|
12,964
|
Neraca berjalan
|
-3,24
|
-4,392
|
-3,122
|
-2,298
|
-2,96
|
-6,76
|
-7,801
|
-2,103
|
Neraca modal
|
4,746
|
5,829
|
18,111
|
17.972
|
4,008
|
10,589
|
10,989
|
-4,845
|
Pemerintah (neto)
|
633
|
1,419
|
12,752
|
12,753
|
307
|
336
|
-522
|
4,102
|
Swasta (neto)
|
3,021
|
2,928
|
3,582
|
3,216
|
1,593
|
5,907
|
5,317
|
-10,78
|
PMA (neto)
|
1,092
|
1,482
|
1,777
|
2,003
|
2,108
|
4,346
|
6,194
|
1,833
|
Cadangan devisa akhir tahun (US$)
|
8,661
|
9,868
|
11.611
|
12,352
|
13,158
|
14,674
|
19,125
|
17,427
|
(bulan impor nonmigas c&f)
|
4,7
|
4,8
|
5,4
|
5,4
|
5,0
|
4,3
|
5,2
|
4,5
|
Debt-service ratio (%)
|
30,9
|
32,0
|
31,6
|
33,8
|
30,0
|
33,7
|
33,0
| |
Nilai tukar Des. (Rp/US$)
|
1,901
|
1,992
|
2,062
|
2,11
|
2,2
|
2,308
|
2,383
|
4.65
|
APBN* (Rp.milyar)
|
3,203
|
433
|
-551
|
-1,852
|
1,495
|
2,807
|
818
|
456
|
*Tahun anggaran
Sumber : BPS,Indikator ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Keuangan Indonesia;
World Bank, Indonesia in Crisis, July 2, 1998
Menanggapi
perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang mulai merosot
sejak bulan Mei 1997, pada bulan Juli 1997 BI melakukan empat kali
intervensi dengan memperlebar rentang intervensi. Namun pengaruhnya
tidak banyak. Nilai rupiah dalam dolar AS terus tertekan. Tanggal 13
Agustus 1997 rupiah mencapai nilai terendah hingga saat itu, yakni dari
Rp2.655,00 menjadi Rp2.682,00 per dollar AS. BI akhirnya menghapuskan
rentang intervensi dan pada akhirnya rupiah turun ke Rp2.755,00 per
dollar AS. Tetapi terkadang nilai rupiah juga mengalami penguatan
beberapa poin. Misalnya, pada bulan Maret 1988 nilai rupiah mencapai
Rp10.550,00 untuk satu dollar AS, walaupun sebelumnya, antara bulan
Januari dan Februari sempat menembus Rp11.000,00 rupiah per dollar AS.
Selama periode Agustus 1997-1998, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
terendah terjadi pada bulan Juli 1998, yakni mencapai nilai antara
Rp14.000,00 dan Rp15.000,00 per dollar AS. Sedangkan dari bulan
September 1998 hingga Mei 1999, perkembangan kurs rupiah terhadap dolar
AS berada pada nilai antara Rp8.000,00 dan Rp11.000,00 per dollar AS.
Selama periode 1 Januari 1998 hingga 5 Agustus 1998, depresiasi nilai
tukar rupiah terhadap dollar AS adalah yang paling tinggi dibandingkan
dengan mata uang-mata uang Negara-negara Asia lainnya yang juga
mengalami depresiasi terhadap dolar AS selama periode tersebut.
Perubahan Nilai Tukar Mata Uang Beberapa Negara Asia : 30/6/97-8/5/98
Negara
|
US$/100 Uang lokal 6/30’97
|
12/31’97
|
Perubahan (%)
6/30-12/31
|
5/8’98
|
Perubahan (%)
1/1-5/8’98
|
Perubahan Kumulatif (%)
6/30’97-5/8’98
|
Thailand
|
4,05
|
2,08
|
-48,7
|
2,59
|
24,7
|
-36
|
Malaysia
|
39,53
|
25,70
|
-35,0
|
26,25
|
2,1
|
-33,6
|
Indonesia
|
0,04
|
0,02
|
-44,0
|
0,01
|
-53,0
|
-73,8
|
Filipina
|
3,79
|
2,51
|
-33,9
|
2,54
|
1,3
|
-33,0
|
Hongkong
|
12,90
|
12,90
|
0,0
|
12,90
|
0,0
|
0,0
|
Korea Selatan
|
0,11
|
0,06
|
-47,7
|
0,07
|
21,9
|
-36,2
|
Taiwan
|
3,60
|
3,06
|
-14,8
|
3,10
|
1,2
|
-13,8
|
Singapura
|
69,93
|
59,44
|
-15,0
|
61,80
|
4,0
|
-11,6
|
Sumber :Goldstein (1998)
Sebagai
konsekuensinya, BI pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan
nilai tukar rupiah terhadap valuta asing. Dengan demikian, BI tidak
melakukan intervensi lagi di pasar valuta asing, sehingga nilai tukar
ditentukan oleh kekuatan pasar.
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KRISIS
Ada asap pasti ada api. Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa sesuatu
yang terjadi, itu pasti ada penyebabnya. Begitu pula dengan adanya
krisis yang terjadi, pasti ada faktor-faktor yang menyebabkan krisis itu
terjadi. Analisis dari faktor-faktor ini diperlukan, karena untuk
menangani krisis tersebut tergantung dari ketepatan diagnosa. Ada
beberapa pendapat mengenai faktor-faktor tersebut, antara lain :
1.Ada
sekelompok peneliti, yakni Tambunan (1998), Roubini (1998), Kaminsky
dan Reinhart (1996), dan Krugman (1979), yang berpendapat bahwa penyebab
utama suatu krisis ekonomi adalah karena rapuhnya fundamental ekonomi
domestik dari Negara yang bersangkutan, seperti defisit transaksi
berjalan yang besar dan terus menerus dan utang luar negeri jangka
pendek yang sudah melewati batas normal.
2.Anwar
Nasution (1998:28) melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang
luar negeri ditambah lemahnya sistim perbankan nasional sebagai akar
terjadinya krisis finansial.
3.Ada
kelompok peneliti lain,yakni Eichengreen dan Wyplosz (1993),
Martinez-Peria (1998), dan Obstfeld (1986),yang berpendapat bahwa krisis
ekonomi terjadi karena hancurnya sistem penentuan kurs tetap di
Negara-negara yang fundamental ekonomi atau pasarnya baik.
4.Bank
Dunia melihat adanya empat sebab utama yang bersama-sama membuat krisis
menuju kea rah kebangkrutan (World Bank,1998,pp. 1.7-1.11). Empat sebab
itu antara lain, akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari
tahun 1992-1997,kelemahan pada sistim perbankan, masalah
governance,termasuk kemampuan pemerintah dalam menangani dan mengatasi
krisis, dan yang terakhir adalah ketidakpastian politik dalam menghadapi
Pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan Presiden Soeharto
pada waktu itu.
5.Lepi
T.Tarmidi berpendapat bahwa penyebab utama dari terjadinya krisis
adalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang sangat
tajam. Selain itu, ada beberapa faktor lainnya menurut kejadiannya,
antara lain :
a.Dianutnya
sistim devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai,
yang memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk
secara bebas.
b.Tingkat
depresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993)
hingga 5,8% (1991) antara tahun 1998 hingga 1996, yang berada dibawah
fakta nilai tukar, menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat
overvalued.
c.Akar
dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek
dan menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat
karena tidak tersedia cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo
beserta bunganya, ditambah sistim perbankan nasional yang lemah.
d.Permainan yang dilakukan oleh spekulan asing yang dikenal hedge funds tidak mungkin dapat dibendung dengan melepas cadangan devisa yang dimiliki Indonesia pada saat itu, karena prakek margin trading, yang memungkinkan dengan modal relatif kecil bermain dalam jumlah besar.
e.Kebijakan fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistim nilai tukar dengan pita batas intervensi.
f.Defisit
neraca berjalan yang semakin membesar (IMF Research Department Staff:
10; IDE), yang disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa
lebih besar dari ekspor dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman.
g.Penanaman modal asing portfolio yang
pada awalnya membeli saham besar-besaran yang diiming-imingi keuntungan
yang besar yang ditunjang oleh perkembangan moneter yang relatif
stabil, kemudian mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar.
h.IMF
tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda pengucuran bantuan yang
dijanjikannya dengan alas an pemerintah tidak melaksanakan 50 butir
kesepakatan dengan baik. Dan Negara-negara sahabat yang menjanjikan akan membantu, juga menunda bantuannya menunggu signal dari IMF.
i.Spekulan domestik juga meminjam dana dari sistim perbankan untuk bermain.
j.Terjadi
krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas
menyerbu membeli dollar AS, agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah
bias menarik keuntungan dan merosotnya nilai tukar rupiah.
k.Terdapatnya keterkaitan erat dengan Yen Jepang, yang nilainya melemah terhadap dollar AS.
DAMPAK KRISIS TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA
Sejak
bulan Juli 1997, Indonesia mulai terkena imbas krisis moneter yang
menimpa dunia khususnya Asia Tenggara. Struktur ekonomi nasional
Indonesia saat itu masih lemah untuk mampu menghadapi krisis global
tersebut. Dampak negatif yang ditimbulkan antara lain, kurs rupiah
terhadap dollar AS melemah pada tanggal 1 Agustus 1997, pemerintah
melikuidasi 16 bank bermasalah pada akhir tahun 1997, pemerintah
membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mengawasi 40
bank bermasalah lainnya dan mengeluarkan Kredit Likuiditas Bank
Indonesia (KLBI) untuk membantu bank-bank bermasalah tersebut. Namun
kenyataannya terjadi manipulasi besar-besaran terhadap dana KLBI yang
murah tersebut. Dampak negatif lainnya adalah kepercayaan internasional
terhadap Indonesia menurun, perusahaan milik Negara dan swasta banyak
yang tidak dapat membayar utang luar negeri yang akan dan telah jatuh
tempo, angka pemutusan hubungan kerja meningkat karena banyak perusahaan
yang melakukan efisiensi atau menghentikan kegiatannya, kesulitan
menutup APBN, biaya sekolah di luar negeri melonjak, laju inflasi yang
tinggi, angka kemiskinan meningkat dan persediaan barang nasional,
khususnya Sembilan bahan pokok di pasaran mulai menipis pada akhir tahun
1997. Akibatnya, harga-harga barang naik tidak terkendali dan berarti
biaya hidup semakin tinggi.
Selain memberi dampak negatif, krisis ekonomi juga membawa dampak
positif. Secara umum impor barang, termasuk impor buah menurun tajam,
perjalanan ke luar negeri dan pengiriman anak sekolah ke luar
negeri,kebalikannya arus masuk turis asing akan lebih besar,
meningkatkan ekspor khususnya di bidang pertanian, proteksi industri
dalam negeri meningkat, dan adanya perbaikan dalam neraca berjalan.
Krisis ekonomi juga menciptakan suatu peluang besar bagi Unit Kecil
Menengah (UKM) dan Industri Skala Kecil (ISK), yakni pertumbuhan jumlah
unit usaha,jumlah pekerja atau pengusaha, munculnya tawaran dari IMB
untuk melakukan mitra usaha dengan ISK, peningkatan ekspor, dan
peningkatan pendapatan untuk kelompok menengah ke bawah.Namun secara
keseluruhan, dampak negatif dari jatuhnya nilai tukar rupiah masih lebih
besar dari dampak positifnya.
KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN PERAN IMF DALAM MENGATASI KRISIS
Pada
awalnya pemerintah berusaha untuk menangani sendiri masalah krisis ini.
Namun setelah menyadari bahwa merosotnya nilai tukar rupiah terhadap
dollar AS tidak dapat dibendung sendiri,lebih lagi cadangan dollar AS di
BI sudah mulai menipis karena terus digunakan untuk meningkatkan
kembali nilai tukar rupiah, tanggal 8 Oktober1997 pemerintah resmi akan
meminta bantuan kepada IMF. Strategi pemulihan IMF dalam garis besarnya
ialah mengembalikan kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri
terhadap kinerja ekonomi Indonesia. Inti dari setiap program pemulihan
ekonomi adalah restrukturisasi sektor finansial (Fischer 1998b).
Kemudian antara Indonesia dan IMF membuat nota kesepakatan, terdiri atas
50 butir kebijakan mencakup ekonomi makro (fiskal dan moneter),
restrukturisasi sektor keuangan, dan reformasi struktural, yang
ditandatangani bersama.
Butir-butir dalam kebijakan fiskal meliputi, tetap menggunakan prinsip
anggaran berimbang, usaha-usaha untuk mengurangi pengeluaran, seperti
menghilangkan subsidi BBM dan listrik serta membatalkan sejumlah proyek
infrastruktur besar, dan yang terakhir meningkatkan pendapatan
pemerintah dengan penangguhan PPN dan fasilitas pajak serta bea cukai,
mengenakan pajak tambahan terhadap bensin, memperbaiki audit PPN dan
memperbanyak objek pajak.
Namun kesepakatan itu gagal, karena syarat-syarat dari IMF dirasa berat
oleh Indonesia. Maka dari itu dilakukanlah negosiasi dan dihasilkan
kesepakatan yang ditandatangani 15 Januari 1998. Pokok-pokok dari
program IMF itu antara lain, kebijakan makro ekonomi yang terdiri dari
kebijakan fiskal dan kebijakan moneter serta nilai tukar, kemudian
restrukturisasi sektor keuangan yang terdiri dari program
restrukturisasi bank dan memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk
perbankan, dan yang terakhir adalah reformasi structural yang terdiri
dari perdagangan luar negeri dan investasi, deregulasi dan swastanisasi,
social safety net dan lingkungan hidup.
Pelaksanaan kesepakatan kedua ini kembali menghadapi bebagai hambatan,
kemudian diadakan negosiasi ulang yang menghasilkan Supplementary Memorandum
pada tanggal 10 April 1998 yang terdiri atas 20 butir, 7 appendix dan
satu matriks. Strategi yang akan dilaksanakan adalah menstabilkan rupiah
pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia, memperkuat
dan mempercepat restrukturisasi sistim perbankan, memperkuat
implementasi reformasi struktural untuk membangun ekonomi yang efisien
dan berdaya saing, menyusun kerangka untuk mengatasi masalah utang
perusahaan swasta, dan yang terakhir adalah mengembalikan pembelanjaan
perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga ekspor bangkit kembali.
Sedangkan
ke tujuh appendix itu antara lain, kebijakan moneter dan suku bunga,
pembangunan sektor perbankan, bantua anggaran pemerintah untuk golongan
lemah, reformasi BUMN dan swastanisasi, reformasi structural,
restrukturisasi utang swasta, dan hukum kebangkrutan dan reformasi
yuridis.
0 komentar:
Posting Komentar